Jumat, 06 Januari 2012


"Bank Sperma"

http://bit.ly/ad56NZBank Sperma di Indonesia, Mungkinkah?Jumat, 30 Juli 2010 | 09:39 WIBJAKARTA, KOMPAS.com –
Teknologi kedokteran yang berkembang pesat khususnya di bidang kebidanan dan kandungan telah membawa implikasi yang sangat besar bagi dunia. Ditemukannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung (in vitro fertilization/IVF) adalah salah satunya. Permintaan bayi tabung yang terus meningkat setiap tahunnya di dunia termasuk di Indonesia menjadi fenomena tersendiri. Melalui teknik inseminasi, seorang wanita dimungkinkan untuk mendapatkan kehamilan dengan sumbangan sperma, baik dari suaminya sendiri atau seorang pria donor, yang disimpan di bank sperma. Di luar negeri, praktik donor dan bank sperma blukanlah hal yang baru. Tetapi di Indonesia, wacana donor dan bank sperma menjadi sebuah kontroversi karena dinilai bertolak belakang dengan norma, budaya dan agama yang berlaku di masyarakat.
Belum lama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke VIII di Jakarta bahkan telah mengeluarkan suatu fatwa yang mengharamkan donor atau praktik jual-beli sperma.
Di mata pengamat masalah kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Prof. Does Sampoerno dr MPH, praktik donor sperma di Tanah Air dinilai tidak memungkinkan. Kehadiran bank sperma juga belum tepat karena Indonesia memiliki kultur yang berbeda-beda. "Bank sperma dengan tujuan komersial belum tepat dilakukan di Indonesia. Dalam kultur di indonesia terutama yang terkait masalah agama. Tujuan dari bank sperma kan akan menghasilkan keturunan, tapi di Indonesia hanya sah kalau sperma suami untuk inseminasi terhadap istrinya sendiri," kata Does Sampoerno kepada Kompas.com, Kamis (29/07/10) di Jakarta.
Meskipun dipandang dari sisi kesehatan akan membantu sebagian orang, namun menurut Ketua Kolegium Keilmuan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu,  implementasi tindakan ilmu kesehatan harus dikaitkan dengan norma, nilai agama, budaya di negeri itu. "Ini karena mempertimbangkan masalah agama, budaya, norma, hak asasi, apalagi untuk negara-negara multikultural," kata Prof Does.
Dalam etika kesehatan, ada empat prinsip pokok yang harus dipatuhi sebelum melakukan tindakan. Keempat etika pokok tersebut adalah,
1.      Menghargai harkat martabat atau hak asasi orang lain.
2.      Perbuatan baik.
3.      Tidak merugikan, serta
4.      Keadilan.
Dalam prinsip berbuat baik mislanya, harus dilihat apakah kepentingan individu itu akan merugikan orang lain atau tidak. Karena dalam etika berbuat baik yang harus dimaksimalkan adalah keuntungan individu dan masyarakat, sedangkan yang merugikan harus diminimalkan.
"Kalau bank sperma memberi sperma kepada orang lain, dan diketahui orang lain akan menyebabkan kegegeran karena melanggar norma dan agama. Oleh sebab itu, yang diperbolehkan adalah melakukan inseminasi buatan antara suami dengan istrinya sendiri. Itulah sebabnya, di sini bank sperma tidak bisa dipakai," kata Prof Does.
Berkaitan dengan praktik bayi tabung, pemerintah sebenarnya telah membuat ketetapan dalam pasal 16 UU Kesehatan No.23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.73 tahun 1992 yang isinya menetapkan inseminasi buatan hanya diperbolehkan pada suami istri yang sah, lalu menggunakkan sperma dan sel telur pasangan tersebut yang kemudian ditanam dalam rahim istri.

TERKAIT:
Fatwa Kedokteran untuk Panduan Umat. Bank Sperma Haram, Bank ASI Boleh. Jumlah Sperma Kurang dari 2 Juta, Sulit Hamil? Waspadai Donor Sperma Keranjingan Cola, Sperma Bisa Rusak?

Pendapat lain, berdeasarkan asas logika, ETIS KAH?
Friday, July 30, 2010 5:30 AM "Sarmedi Purba" sarmedi.purba@yahoo.de
1.        Menurut dunia pengetahuan, khususnya dunia kedokteran akan dirugikan kalau kaidah beragama dicampuradukkan dengan kaidah bernegara. Kaidah beragama adalah baik dan ditawarkan kepada penganutnya yang loyal. Kaidah bernegara diatur dengan UU melalui DPR dan kode etika orang yang melaksanakan (misalnya dokter). Mengambil contoh di Amerika Serikat, mungkin baik juga diterapkan di Indonesia, misalnya daerah tertentu dapat membuat aturan sendiri yang tidak berlaku di provinsi lain. Ini sudah terlaksana misalnya di NAD.
2.        Bank sperma, harus ada keputusan yang dituangkan dalam undang-undang. Kalau seorang tentara yang belum kawin mau menyimpan spermanya karena takut di medan perang kehilangan kesuburannya dan kalau berkeluarga kelak tidak bisa dapat anak, kan perlu juga bank sperma.
3.        Di agama Islam (agama saya) misalnya dikatakan kalau ada sesuatu masalah pelik, harus diserahkan kepada ahlinya. Jadi menurut saya masalah kesehatan harus dibahas dan diselesaikan oleh para ahli kesehatan. Tentunya dengan mengacu kepada etika dan moral kemanusiaan yang menurut saya cukup dipunyai oleh para pakar kesehatan di tanah air kita dan pasti tidak akan bertentangan dengan norma agama. Perlu diingat bahwa kita bukanlah negara agama, tetapi berdasarkan UUD, UU dan hukum yang kita buat dan sepakati bersama.

Monday, August 2, 2010 4:43 AM "flubis@rad.net.id" flubis@rad.net.id
Di negara kampung kapitalis AS sekalipun kehidupan beragamanya sangat baik sekali. Jangan kira kehidupan beragama di AS tidak ada, malah dijalankan penduduknya dengan sangat baik sekali dan toleran. Banyak sekali kelompok agama yang fundamentalis dan mendapatkan kesulitan di Eropa yang kemudian hijrah ke AS. Kehidupan Muslim di AS pun sangat baik sekali.
Seringkali kita jumpai, terutama di pedesaan, ada orang yang mempunyai sapi betina namun tidak memiliki sapi pejantan. Oleh karena itu, dia perlu menyewa sapi pejantan milik tetangganya dengan sejumlah upah tertentu. Perbuatan ini adalah suatu hal yang terlarang, berdasarkan hadits berikut ini,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ عَسْبِ الْفَحْل
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, dia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sperma pejantan." (HR. Bukhari, no. 2284)
Yang dimaksud dengan "melarang sperma pejantan" dalam hadits di atas mencakup dua pengertian:
1.   Jual beli sperma pejantan.
2.   Uang sewa karena mengawini betina.
Ibnu Hajar mengatakan, "Apapun maknanya, memperjualbelikan sperma jantan dan menyewakan pejantan itu haram karena sperma pejantan itu tidak bisa diukur, tidak diketahui, dan tidak bisa diserahterimakan." (Fathul Bari, jilid 6, hlm. 60, terbitan Dar Ath-Thaibah, Riyadh, cetakan ketiga, 1431 H)
Ibnul Qayyim mengatakan, "Yang benar, sewa pejantan adalah haram secara mutlak, baik dengan status 'jual beli sperma' ataupun 'sewa pejantan'. Haram bagi pemilik pejantan untuk mengambil hasil dari menyewakan pejantan. Akan tetapi, tidak haram bagi pemilik binatang betina untuk menyerahkan uang kepada pemilik hewan jantan, bila membayar sejumlah uang dalam hal ini adalah pilihan satu-satunya, karena dia menyerahkan sejumlah uang untuk mendapatkan hal mubah yang dia perlukan." (Zadul Ma'ad, juz 5, hlm. 704, Muassasah Ar-Risalah, cetakan keempat, 1425 H)
Ada beberapa alasan sehingga hal ini dilarang :
1.        Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu tidak bisa diserahkan, karena keluarnya sperma pejantan itu sangat tergantung dengan keinginan dan syahwat pejantan.
2.        Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu memiliki kadar yang tidak diketahui jumlahnya. (Zadul Ma'ad, juz 5, hlm. 705)
Syariat melarang jual beli sperma pejantan, dengan tujuan agar pemilik hewan jantan mau meminjamkan pejantannya dengan cuma-cuma. Dengan demikian, keturunan hewan yang diperlukan (dalam hal ini adalah keturunan hewan penjantan, ed.) itu makin banyak, tanpa membahayakan pemilik hewan pejantan dan tanpa mengurangi hartanya. Oleh sebab itu, di antara sisi indah syariat adalah mewajibkan pemberian sperma pejantan secara cuma-cuma.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ وَلاَ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَ يُؤَدِّى حَقَّهَا إِلاَّ أُقْعِدَ لَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقَاعٍ قَرْقَرٍ تَطَؤُهُ ذَاتُ الظِّلْفِ بِظِلْفِهَا وَتَنْطِحُهُ ذَاتُ الْقَرْنِ بِقَرْنِهَا لَيْسَ فِيهَا يَوْمَئِذٍ جَمَّاءُ وَلاَ مَكْسُورَةُ الْقَرْنِ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا حَقُّهَا قَالَ « إِطْرَاقُ فَحْلِهَا وَإِعَارَةُ دَلْوِهَا وَمَنِيحَتُهَا وَحَلَبُهَا عَلَى الْمَاءِ وَحَمْلٌ عَلَيْهَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada satu pun pemilik unta, sapi, ataupun kambing yang tidak menunaikan kewajiban hewan ternaknya melainkan dia akan didudukkan pada hari kiamat di suatu tempat yang terbentang rata (baca: bumi mahsyar). Orang tersebut akan diinjak oleh untanya dan dia akan ditanduk oleh sapi atau kambingnya. Pada hari itu, tidak ada hewan yang tidak memiliki tanduk atau memiliki tanduk namun patah." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apa kewajiban yang perlu ditunaikan terkait binatang piaraan?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Meminjamkan hewan pejantannya secara cuma-cuma untuk mengawini hewan betina, meminjamkan embernya kepada orang yang membutuhkannya, meminjamkan hewan perah kepada orang miskin untuk diambil susunya, memperbanyak perahan susunya dengan air lalu membagikannya kepada orang di sekelilingnya, dan hewan yang bisa ditunggangi dijadikan sebagai hewan tunggangan dalam rangka jihad di jalan Allah." (HR. Muslim, no. 2344)
عن أبي عامر الهوزني ، عن أبي كبشة الأنماري ، أنه أتاه فقال : أطرقني فرسك ، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « من أطرق فرسا فعقب له الفرس كان له كأجر سبعين فرسا حمل عليها في سبيل الله ، وإن لم تعقب كان له كأجر فرس حمل عليه في سبيل الله »
Dari Abu Amir Al-Hauzani dari Abu Kabsyah Al-Anmari. Abu Kabsyah datang ke rumah Abu Amir lalu mengatakan, “Pinjami aku kuda pejantanmu untuk mengawini kuda betani milikku, karena sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meminjamkan kuda pejantannya secara cuma-cuma, lalu kuda betina yang dibuahi itu berketurunan, maka pemilik kuda jantan tersebut akan mendapatkan pahala tujuh puluh kuda yang dijadikan sebagai binatang tunggangan di jalan Allah. Jika tidak berketurunan maka pemilik kuda pejantan akan mendapatkan pahala seekor kuda yang digunakan sebagai hewan tunggangan di jalan Allah.” (HR. Ibnu Hibban, no. 4765)
Bagaimana jika pemilik hewan betina memberi hadiah kepada pemilik pejantan? Apakah pemilik pejantan boleh menerima hadiah tersebut?
Jawabannya perlu rincian:
1.        Jika hadiah tersebut adalah sebagai kompensasi karena pemilik hewan betina telah dipinjami hewan pejantan dan itu adalah upah namun tidak tertulis maka tidak boleh bagi pemilik hewan pejantan untuk menerimanya.
2.        Jika kondisi hadiah tersebut tidak sebagaimana di atas maka boleh diterima. Para ulama bermazhab Hambali dan Syafi'i mengatakan, “Jika pemilik hewan pejantan diberi hadiah dan itu bukanlah uang sewa maka (uang tersebut) boleh diterima.” (Lihat: Zadul Ma'ad, juz 5, hlm. 706)

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About